Jumat, 20 Februari 2009

Benjamin Netanyahu Upayakan Bentuk Pemerintahan Baru Israel



Pemimpin sayap kanan Benjamin Netanyahu, Jumat, menerima mandat untuk membentuk pemerintahan baru Israel dan segera menyerukan koalisi persatuan nasional yang menyeluruh dengan mitra-mitra tengah dan kiri.

Koalisi menyeluruh seperti ini akan menciptakan sebuah pemerintahan yang stabil dan kuat yang kebal dari tekanan dari parpol-parpol pinggiran yang melumpuhkan pemerintahan-pemerintahan Israel sebelumnya.

Namun belum ada isyarat bahwa para pesaing Netanyahu menerimanya sehingga tidak ada pilihan bagi Netanyahu selain membentuk aliansi dengan kelompok-kelompok ekstrem kanan dan fundamentalis Yahudi yang membuatnya mengekang untuk berdamai dengan Palestina dan memperkuat disiplin fiskal.

Palestina dan Arab sepertinya melihat pencalonan Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel ini sebagai pemastian bahwa sebagian besar orang Israel tidak mau terburu-buru membuat perdamaian dengan Arab.

Netanyahu (59) memimpin partai sayap kanan yang konservatif, Partai Likud. Dia pernah menjadi Perdana Menteri Israel sebelum akhir 1990an dan kini memiliki waktu enam minggu untuk membangun sebuah koalisi guna memerintah lagi Israel untuk keduakalinya.

Partai Likud berhasil melipatgandakan perolehan kursinya pada pemilu sepuluh hari lalu dimana keamanan negara Yahudi menjadi isu utama kampanye setelah konflik 2006 dengan Hizbullah di Lebanon dan perang melawan Hamas di Gaza bulan lalu. Namun, belum ada pemenang sesungguhnya dalam pemilu 10 Februari kemarin itu.

Dengan 27 kursi dari total 120 kursi Knesset (parlemen Israel), kubu Netanyahu hanya kalah satu kursi terhadap partai tengah Kadima pimpinan Tzipi Livni, mitra dominan dalam koalisi yang kini sedang memerintah Israel.

Namun demikian perbedaan suara yang tipis dengan Partai Kadima membuat Netanyahu memiliki peluang yang lebih baik dalam membangun mayoritas di parlemen lewat koaliasi dengan sesama sayap kanan.

Namun pencalonannya sebagai PM Israel oleh Presiden Shimon Peres, Jumat, telah memecah tradisi politik Israel yang sebelumnya selalu memberikan mandat pemerintahan kepada pemimpin partai yang meraih suara terbanyak.

Netanyahu telah mendesak para penentangnya untuk mengurangi perbedaan demi negara dengan bergabung dalam pemerintahannya.

“Saya menyeru ketua Partai Kadima Tzipi Livni dan Ketua Partai Buruh Ehud Barak, marilah kita bersatu demi keselamatan masa depan Negara Israel,” katanya.

Dengan mengulang pesan kampanyenya, Netanyahu menyatakan Iran tengah berupaya menguasai senjata nuklir yang akan mengancam eksistensi Israel, sekaligus menantang Israel melalui kelompok-kelompok binaannya, Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza.

Sebaliknya di Jalur Gaza, seorang juru bicara pada pemerintahan Hamas Palestina memprediksi bakal timbulnya konflik dan ketidakstabilan di Palestina.

“Ini artinya bahwa kebijakan zionis sedang berubah dari buruk menjadi lebih buruk lagi. Pencalonan Netanyahu tidak merujuk keamanan, perdamaian atau stabilitas untuk hari-hari mendatang,” kata sang juru bicara bernama Fawzi Barhoum.

Koalisi Besar

Semenara itu, Tzipi Livni (50) tidak menunjukkan tertarik bergabung dalam pemerintahan Netanyahu.

Setelah Peres gagal membujuk mereka –Livni dan Netanyahu– untuk membentuk pemerintahan persatuan, Livni mengisyaratkan bahwa dia tidak mau berada dibawah kepemimpinan seseorang dari Partai Likud.

Itu mungkin satu koalisi yang membuat saya tidak bisa melanjutkan misi saya, yaitu misi Partai Kadima yang kami janjikan kepada para pemberi suara, kata Livni.

Yoel Hasson, yang memimpin fraksi Kadima di parlemen, mengatakan pada Reuters bahwa para anggota fraksinya akan bertemu hari Minggu lusa.

“Saya bayangkan keputusannya adalah kami akan mengambil langkah oposisi. Kami tak mau memasuki pemerintahan manapun yang dipimpin Netanyahu,” kata Yoel Hasson.

Para penentang Netanyahu mendukung pembicaraan dengan para pemimpin sekuler Palestina yang didukung Presiden AS Barack Obama, yang mungkin akan membuat hampir seluruh daerah Tepi Barat dan bagian Yerusalem diserahkan kepada Palestina untuk menjadi sebuah negara Palestina baru, dengan barter perdamaian dengan Israel.

Netanyahu yang lulusan AS dan selalu buruk hubungannya dengan pemerintahan Clinton selama dia menjabat PM Israel, mengatakan bahwa pendudukan sepihak Israel atas tanah Arab, terutama Gaza pada 2005, adalah tidak pada tempatnya dan telah mengilhami militansi Palestina.

Dia mendukung pendekatan arus bawah jangka panjang bagi perdamaian dengan Palestina harus dibangun pada pembangunan ekonomi di Jalur Gaza dan penyerahan secara bertahap wilayah pendudukan ke pasukan keamanan Palestina.

“Saya tidak melihat kemajuan perdamaian banyak tercipta dari koalisi yang dia bentuk,” kata analis Eliezer Don-Yehiya.

“Jurang perbedaan antara Israel dan Palestina itu teramat tajam. Dia akan menghadapi masalah jika mitra-mitra sayap kanannya merasa ada sejumlah kemajuan dalam pembicaraan dengan Palestina. Dalam hal ini partai-partai sayap kanan akan membuatnya ada dalam kesulitan,” tambah Don-Yehiya.

Sambil menerima mandat memerintah, Netanyahu juga menandaskan bahwa krisis ekonomi dunia paling serius dalam 80 tahun terakhir tengah mengancam ratusan ribu angkatan kerja Israel.

Mantan menteri keuangan ini pernah mendukung pemotongan anggaran kesejahteraan sosial dan mempraktikan pasar bebas di awal dekade ini, di tengah tentangan kuat dari kelompok-kelompok yang saling bersaing.

Tetapi dia kelihatannya telah mencapai kesepakatan dengan partai agama terbesar di Israel, Shas, yang tampaknya akan menjadi mitra koalisinya dan tidak mungkin lagi melanjutkan kebijakan swastanisasinya yang dipraktikannya dulu sehingga menggerus kemanfaatan sosial, kata Don-Yehiya. (Antara News, 20/02/09)

Tidak ada komentar: