Sabtu, 21 Maret 2009

Tidak ada Hubungan antara Kesejahteraan dengan Demokrasi



Tidak ada hubungan antara kesejahteraan dengan paham demokrasi. Sebab ukuran kesejahteraan Barat dan Islam berbeda. Demikian kesimpulan dari diskusi yang diadakan “Halqah Islam dan Peradaban” . Diskusi yang mengambil tema “Kesejahteraan ala Demokrasi vs Khilafah” berlangsung kemarin, Kamis (19/3) itu menghadirkan pembicara: Prof. Dr. Ryaas Rasyid, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Lili Romli dan MR Kurnia.

Menurut Ichsanuddin, kesejahteraan dalam kacamatan Barat itu diukur hanya dalam tiga bidang. “Tingkat pendidikan, tingkat penghasilan dan tingkat kesehatan,” kata pengamat ekonomi ini.

Kesejahteraan lahir batin, menurutnya, sebenarnya didapatkan bayi dalam kandungan sampai dengan lima tahun. Setelah itu kesejahteraan lahir dan batin dipisahkan. Remaja atau orang dewasa hanya memikirkan kesejahteraan lahiriah saja.

Ini pula yang menurutnya membuat krisis keuangan dunia saat ini melanda AS, Eropa dan negara-negara lainnya.

“Mereka serakah luar biasa dan karena ekonomi kapitalis berbasis individu, maka mereka tidak bias mencegah keserakahan individu. Dan keserakahan inilah sebenarnya sumber pokok krisis saat ini,” urai Ichsan.

Ia juga menegaskan bahwa dalam kajian ekonomi yang berlangsung lebih dari satu setengah abad, krisis ekonomi selalu bertalian dengan demokrasi.

“Keputusan politik yang dibuat dalam demokrasi liberal itu tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.

Menurutnya demokrasi di AS itu adalah basa-basi, karena beberapa lembaga. Yaitu demokrasi ini digerakkan oleh pembuat jajak pendapat, PR adverstising, media massa, LSM-LSM yang bekerja di Negara itu, parpol-parpol dan yang terpenting digerakkan oleh pemodal. Jadi semuanya itu tidak bias bekerja kalau tidak ada pemodal.

Ia juga menjelaskan bahwa masyarakat AS dan Eropa saat ini sangat meragukan lembaga penjamin keuangan mereka.

“Tiba-tiba uang pension mereka yang dipotong dari gaji mereka tiap bulan lenyap. Karena lembaga yang diserahkan untuk mengelola uang pension itu telah salah dalam bertransaksi,” tegasnya.

Karena itu, jelas Ichsan, sejak tahun 2002, sebenarnya banyak orang Amerika yang mengalihkan mata uang Dolarnya ke Euro. Jumlahnya tidak kurang dari 38 trilyun.

Sedangkan pengamat politik LIPI, Dr Lili Romli menyatakan bahwa tidak ada hubungannya kesejahteraan dengan demokrasi.

“Sebagaimana juga tidak ada hubungan antara kesejahteraan dengan negara yang tidak menerapkan demokrasi,” ujarnya.

Menurutnya, ada tiga pendapat cendekiawan Islam tentang hubungan demokrasi dengan Islam. Pertama, demokrasi bertentangan dengan Islam. Kedua, demokrasi ada beberapa persamaannya dengan Islam. Misalnya dalam masalah persamaan di depan hukum, keterbukaan, keadilan dan lain-lain. Ketiga, demokrasi sama dengan Islam.

Lili menambahkan bahwa apakah demokrasi itu layak atau tidak diterapkan dalam masyarakat, itu tergantung dengan aspirasi masyarakat di wilayah itu. Ia juga menekankan perlu demokrasi dilihat substansinya (demokrasi substantif) daripada prosedural belaka (demokrasi prosedural).

Sedangkan MR Kurnia dari HTI menyatakan bahwa tidak ada hubungan demokrasi dengan kesejahteraan. Fuji dan India misalnya menerapkan demokrasi, tapi rakyatnya tidak sejahtera. “Sedangkan Singapura, Saudi Arabia tidak menerapkan demokrasi rakyatnya sejahtera,” ujarnya menguraikan studi yang telah dilakukan di beberapa Negara.

Menurutnya, Inggris, AS dan Perancis sejahtera (sebelum krisis) karena Negaranya ditopang oleh imperialisme. Di mana mereka menguasai energi, barang dan jasa dan lain-lain. :Yang terpenting demokrasi dan kapitalisme tidak bias dipisahkan,”ungkapnya.

Ia juga menguraikan bahwa kesejahteraan dalam Islam adalah kesejahteraan lahir dan batin. Secara lahiriah, maka rakyat harus disejahterakan dengan dipenuhinya kebutuhan pokok oleh Negara. Yaitu kebutuhan sangan, pangan, papan, kesehatan dan keamanan.

Sedangkan Pro. Dr. Ryaas Rasyid menyatakan bahwa dalam demokrasi harus melahirkan pemerintah dan pemerintah dan pemimpin yang baik. “Apabila dalam demokrasi tidak melahirkan pemimpin dan pemerintah yang baik, maka demokrasi itu melawan dirinya sendiri,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa kegagalan demokrasi di Indonesia itu karena dua hal. Pertama, kultur masyarakat yang tidak siap untuk berdemokrasi. Kedua, para elit politik yang tidak sungguh-sungguh menerapkan demokrasi.

Pandangan tentang demokrasi dan kesejahteraan itu, menurutnya, ada dua macam. Pertama, demokrasi itu diterapkan dulu, baru menghasilkan kesejahteraan, seperti di AS dan Eropa. Kedua, kesejahteraan dicapai dulu, baru diterapkan demokrasi. Pandangan ini dianut oleh Thailand, Korsel, Malaysia dan lain-lain. Juga China lebih mementingkan kesejahteraan daripada demokrasi.”Mereka tidak peduli Cuma ada partai tunggal di sana, yang penting rakyatnya sejahtera,”katanya.

Ia menyayangkan Indonesia telah dipaksa oleh Amerika untuk memeluk demokrasi. “Bagaimana di Indonesia masyarakat dapat memilih pemimpin yang baik, lebih dari 50% rakyatnya hanya tamatan SD,” ujarnya. Dengan minimnya kecerdasan dan minimnya kesejahteraan, maka sebenarnya Indonesia tidak bisa menerapkan demokrasi. (hidayatullah.com)

Tidak ada komentar: