Minggu, 25 September 2011

Sakato Koi Club "Jatuh Hati Pada Kemolekan Ikan Koi"

Sakato Koi Club "Jatuh Hati Pada Kemolekan Ikan Koi"



Awalnya, komunitas ini terdiri dari satu, dua orang yang terpukau kemolekan tubuh ikan asal Cina dan banyak dikembangkan di Jepang ini. Ikan Koi atau dalam bahasa Jepang lebih dikenal dengan nishikigoi, memiliki keanggunan dan keelokan badan. Lekuk dan liuk gerak ikan koi adalah pemandangan indah yang membuat kepincut siapa saja yang melihatnya. Ada yang sekadar hobi, mengagumi bentuk dan warna, hingga benar-benar ingin menggeluti bisnisnya. Sebagai lanjutan dari Asosiasi Pencinta Koi Indonesia (APKI), komunitas pencinta ikan hias air tawar pun merapatkan barisan. Penggemar, peternak, pembudidaya, pemerhati hingga pedagang membentuk Sakato Koi Club (SKC) sebagai wadah berkumpul, tukar informasi bagi ”penggila” koi di Sumbar.

Meskipun komunitas sejenis di daerah lain berawal dari ngumpul bareng pencinta ikan koi melalui mailing list, SKC tidak demikian. Selepas dibantuk November 2007 dan berkeliling mengunjungi tempat budidaya koi di seluruh Indonesia mereka bertekad menjadikan Sumbar sentra pengembangan koi. SKC yang dipimpin Supriadi Suroso ini memiliki anggota sekitar 20 orang yang tersebar di wilayah Sumbar. Tapi perlu diingat kata Supriadi SKC satu-satunya wadah pencinta koi di Sumatera. “Untuk jumlah anggota kita tidak terlalu banyak. Yang penting anggota benar-benar serius menggeluti hobi ini.

Kita juga membuka kesempatan untuk semua pencinta koi. Jangan sungkan. Disinilah kita bisa bertukar informasi tentang koi,” ajaknya. Forum ini bisa menjadi ajang diskusi seputar ikan koi, mulai dari cara perawatan dan pemeliharaan, sampai ke jual beli. Juga dibicarakan kriteria ikan bagus dan jelek, penanganan terhadap ikan sakit, hingga masalah penanganan kolam tempat memelihara koi. “Bentuknya lebih kepada media komunikasi antar pencinta koi. Sifatnya pun non profit dan non-komersial,” tuturnya.

Hobi ini tergolong langgeng, berbeda dengan hobies ikan lain yang sifatnya musiman. Menurut anggota SKC lainnya, Iman yang mulai menggeluti koi sejak tahun 1985 ini, sesuatu yang cepat naik atau booming maka bisa cepat tenggelam atau surut. Beda dengan koi yang tetap eksis dimata pencintanya. Sebut saja, Kohaku, Showa Sanshoku, Taisho Sanshoku, Utsurimono-Bekko, Asagi-Shusui, Koromo-Goshiki, Kinginrin, Hikarimono, Tancho, dan Kawarimono. Sebagian besar penamaan yang didasari warna dan letak bercak di badan koi tersebut selalu mendapat tempat di hati pencintanya.

Bentuk tubuh ikan koi bagi pencintanya seperti torpedo dan proporsional. Kualitas warna kulit, pola warna yang berimbang merupakan nilai plus. Penilaian tak hanya dilihat dari gerakannya saja, tapi juga bentuk tubuh, kualitas kulit, warna dan pola. “Tak hanya itu, diadakan pula bursa dan lelang yang terbuka untuk umum. Saat mengadu ikan koi, pertama kali, akan dikategorikan berdasar ukuran panjang. Setelah itu, barulah dilihat hal yang spesifik, seperti warna, bentuk, dan keseimbangan pola,” beber Iman.

Lokal dan Impor Sama Saja

Untuk kualitas, baik jenis koi lokal ataupun impor, saat ini hampir sama. Hobi koi yang dulu identik dengan biaya mahal, sekarang tidak berlaku lagi. Namun bibit menentukan baik atau buruknya ikan koi tersebut. Suriadi pernah membeli ikan koi impor hingga harga jutaan. “Bagi pencinta koi, angka tidak masalah. Bagi saya yang juga eksis di dunia usaha, jika nantinya bisa dijual dengan harga yang lebih baik, kenapa tidak?,” ungkapnya.

Jika koi impor dikawinkan dan telurnya menetas di Indonesia maka anaknya akan disebut sebagai koi lokal atau disebut F1. Untuk hasil kawin silang antara koi lokal dan impor, kemungkinan yang terjadi adalah fifty-fifty. “Bisa jadi peranakan yang rentan dan ringkih atau sebaliknya,” kata Suriadi yang asyik menikmati koinya bersama cucu kembarnya. Koi merupakan jenis ikan mutasi genetika dari sejenis ikan emas atau karper (Cyprinus carpio) yang sangat terkenal di Jepang. Nenek moyang ikan ini sendiri berasal dari Cina namun budidayanya dilakukan sangat baik di negeri Sakura sejak tahun 1600-an.


Memelihara koi, banyak faktor yang harus diperhatikan karena nantinya berpengaruh pada peranakan. Sayangnya, setiap koi bertelur, hanya sekitar lima persen saja yang berpotensi sebagai bibit unggul. Kualitas air dan pakan misalnya, dalam kolam tempat memelihara koi harus mengandung kadar magnesium seminim mungkin. Begitu juga dengan suhu air, sebaiknya berkisar antara 20 hingga 25 derajat Celsius.

Jenis kualitas pakan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan koi. Pakan yang mengandung protein tinggi dapat membuat koi cepat tumbuh. Sedangkan spirulina membuat warna merah di tubuh koi lebih indah dan wheat germ menghasilkan warna putih yang bagus. “Koi baik dipelihara di air yang mengalir, seperti sungai dan mata air. Perawatannya tidak sulit. Ada pepatah, just keep the water and the water will keep your koi,” jelas Iman.

Tidak ada komentar: